Syafi’i dan
Hambali: anjing adalah najis. Bejana yang dijilat anjing harus dibasuh tujuh kali.
Hanafi: anjing adalah najis, tetapi bakas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Apabila diduga bahwa najisnya sudah suci, meskipun dibasuh satu kali, maka hal itu sudah cukup. Namun, jika diduga bahwa najisnya belum hilang, maka bekas jilatan itu harus dibasuh lagi hingga di yakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali.
Maliki: Anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis. Namun, bejana yang dijilatnya harus dicuci semata-mata sebagai ibadah saja.
Kalau anjing memasukkan keempat kakinya ke dalam sebuah bejana maka bejana tersebut wajib dibasuh tujuh kali seperti mencuci bekas jilatannya. Namun, dalam hal ini Maliki berbeda pendapat karena ia mengkhususkan basuhan tujuh kali itu hanya pada bekas jilatan.
Babi hukumnya seperti anjing, yakni bekas najisnya dibasuh tujuh kali, demikian menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i. An-nawawi berpendapat, “pendapat paling kuat dari segi dalil adalah najis babi cukup dibasuh satu kali tanpa disertai tanah”. Pendapat ini pun dianut kebanyakan Ulama’. Pendapat ini dipilih karena pada dasarnya tidak ada kewajiban hingga datang perintah.
Maliki: Babi adalah suci ketika masih hidup karena tidak ada dalil yang menjelaskan kenajisannya. Hanafi: Najis babi harus dibasuh seperti najis-najis lainnya.
Membasuh bejana, pakaian, dan badan dari najis selain najis anjing san babi, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tidak diulang-ulang tujuh kali. Riwayat paling masyhur dari Hambali: Wajib mengulang basuhan, kecuali najis tanah. Maka, bejana dibasuh tujuh kali. Namun, menurut riwayat lain, basuhan itu tiga kali. Ada juga riwayat yang tidak mengharuskan pengulangan basuhan jika najis itu bukan anjing dan babi.
Sumber:
Ad-Damadyqî, Syaikh al-‘Alamah Muhammad bin ‘Abdurrahman (2010) FIQIH EMPAT MAZHAB. Bandung: Hasyimi.
Oleh:
»»